NAHDLOTUL
‘ULAMA
Oleh: Rifqy
Ferdian, Sibawaih Umam, dan Muafa Annis
I.
Pendahuluan
Nahdlatul
‘Ulama atau NU merupakan organisasi masa Islam yang oleh banyak pengamat
diindetikkan dengan kaum tradisional. Hal ini merupakan bias tersendiri,
mengingat dalam perkembangannya antara kaum modernis dan tradisional sudah
saling memberikan masukan demi kemajuan masyarakat muslim di Indonesia.
Terutama dalam hal meminimalisasi perselisihan tentang masalah-masalah furu’iyyah
(cabang, tidak yang menerima bentuk lembaga pendidikan yang ditawarkan kaum modernis, sedangkan kaum
modernis sendiri tidak begitu saja
mengharamkan thariqat yang dilakukan
kaum tradisionalis. Kedua kaum ini, meskipun berselilisih dan berdebat dengan
kerasnya, namun pada akhirya menunjukan akhir yang positif.[1]
Nahdlatul
‘Ulama sendiri sebagai sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan
berkembang dan tumbuh dari konsep dan misi li utammima makarimal akhlak
dan tafaqquh fiddiin. Kedua konsep inilah yang menjadi ruh pendidikan
pesantren selama berabad-abad. Nahdlatul ‘Ulama menjahit jamaah psantren ini
menjadi sebuah Jami’iyyah. Jika Nahdlotul ‘Ulama dan pesantren berbicara dalam
kehidupan nyata saat ini, maka mau tidak mau NU dan pesantren harus mempunyai
kemampuan mengkombinasikan sistem pengelolaan kemasyarakatannya. Dengan
demikian pendidikan yang dilakukan untuk dan kepada masyarakat memiliki
kemampuan memadupadankan antara yang slaf dan kholaf.
Ada perbedaan
antara pesantren dan Nahdlatul ‘Ulama dengan lembaga lainnya, yaitu bahwa NU
dan pesantren sangat menekankan aspek efektif dalam mendidik masyarakat, dengan
demikian hal ini mampu mengembangkan pendidikan dan gera organisasi sebagai
perangkat psiko-motorik. Jangan heran jika pra santri dan anggota-anggota NU di
masa lalu mamou menempatka Islam ala ahlis sunnah wal jamaah sebagai
pemandu aktivitas. Sementara organisasi non pesantren banyak menekaknkan pada
aspek kognitif.[2]
II.
Sejarah Berdirinya Nahdlatul ‘Ulama
Akibat penjajahan
maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan
organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan
Nasional".
Semangat kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya,
muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Merespon kebangkitan
nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk pada
1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri"
(kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok
studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota.
Berangkat dari
munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional, maka
setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan
lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah
berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk
mengikuti konperensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari para
ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Ada banyak faktor
yang melatarbelakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah perkembangan
dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk
amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam
murni, yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab.
Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap
merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi
keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul
Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan. Untuk menegaskan prisip dasar
organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.[3]
III.
Biografi KH. M. Hasyim Asy’ari
Kiai Hasyim
dilahirkan di Gedang. Ini adalah sebuah dusun kecil di utara Kota Jombang yang
sekarang masuk dalam wilayah desa Tambakrejo, kecamatan kota Jombang, timur
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas. Kiai Hasyim lahir pada hari selasa kliwon
tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M.[4]
Kiai Hasyim lahir dari pasangan Kiai Asy’ari
dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren
Gedang. Nama lengkap Kiai Hasyim adalah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin ‘Abdul
Wahid bin ‘Abdul Halim ( Pangeran Benowo ) bin ‘Abdurrahman ( Joko Tingkir atau
Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya ) bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Aziz bin ‘Abdul
fattah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yaqin yang lebih populer dengan sebutan
Sunan Giri.[5]
Kiai Hasyim merupakan putra ketiga dari
sebelas bersaudara. Urut-urutan
keturanan dari Kiai Asy’ari adalah Nafi’ah, Ahmad Sholih, Muhammad
Hasyim, Radhiyyah, Hasan, Anis, Fathonah, Maimunah, Ma’shum, memiliki saudara
antara lain Muhammad, Leler, Fadhil dan Nyai Arif. Semasa masih hidup, Kiai
Hasyim pernah menikah dengan empat perempuan. Namun, pernikahan baru dilakukan
setelah istri sebelumnya meninggal dunia. Dengan kata lain, Kiai Hasyim tidak
pernah memiliki dua istri atau lebih sekaligus dalam waktu yang bersamaan atau
poligami. Saat menikah lagi, Kiai Hasyim sudah berstatus duda. Hal ini
sekaligus membantah pendapat beberapa kalangan yang menyatakan bahwa Kiai
Hasyim melakukan poligami.
Istri pertama Kiai
Hassyim adalah Nyai Khodijah binti Kiai Ya’qub dari pesantern Siwalan Panji
Buduran Sidoarjo. Pernikahan dengan istri pertama ini digelar pada tahun 1892 M
atau 1308 H, saat Kiai Hasyim berumur 21 tahun. Dengan istri prtam Kiai Hasyim
memiliki satu putra, Abdullah. Bayi Abdullah meninggal dunia saat masih berusia
40 hari. Ini terjadi karena Nyai Khodijah meninggal dunia saat melahirkan
Abdullah.
Istri kedua Kiai
Hasyim adalah Nyai Nafishah binti Kiai Romli dari Pesantren Kemuning Bandar
Kecamatan Mojoroto Kota Kediri. Kiai Hasyim menikah dengan istri kedua saat
sama sama masih berada di Mekkah. Setelah dua tahun menikah dan belum diberikan
keturunan, Nyai Nafishah meninggal dunia.
Istri ketiga kiai
Hasyim adalah Nyai Nafiqoh binti Kiai Muhammad Ilyas dari Pesantren Sewulan
Dagangan Madiun. Dengan Nyai Nafiqoh, Kiai Hasyim memiliki sepuluh putra yaitu
Hannah, Khoiriyah atau Ummu Abdul Jabbar, Aisyah atau Ummu Muhammad, Azzah atau
Ummu Abdul Haq, Abdul Wahid, Abdul Hakim atau Kiai Kholiq, Abdul Karim,
Ubaydillah, Masruroh dan Muhammad Yusuf atau Ud. Nyai Nafiqoh meninggal dunia
padda tahun 1920 M dan jenazahnya dimakamkan di Pesantren Tebu Ireng.
Istri keempat Kiai
Hassyim adalah Nyai Masruroh binti Kiai Hasan Muchyi dari Pesantren Salafiah
Kapurrejo Pagu Kediri. Dengan Nyai Masruroh, Kiai Hasyim memiliki empat anak,
yaitu Abdul Qodir, Fatimah, Khodijah, dan Muhammad Ya’qub dalam film Sang
Kiai, Nyai Masruroh disebut dengan Nyai kappu. Jenazah Nyai Masruroh juga
di makamkan di Pesantren tebu ireng.[6]
Dalam melaksanakan
pencarian ilmu, Kiai Hasyim berusaha menerapkan filosofi jawa yaitu luru
ilmu kanti lelaku dan santri kelana. Kedua filosofi itu
menggambarkan bahwa mencari ilmu mengutamakan proses yang dijalani, bukan
memfokuskan diri pada hasil yang diperoleh. Dan selama lima tahun berada dalam
pendidikan dan lingkungan kakeknya di Pesantren Gedang, di lanjutkan dengan
sepuluh tahun dalam pola pendidikan Ayahnya di Pesantren Keras. Saat masih
dalam pendidikan kakek dan ayah, Kiai Hasyim banyak belajar tentang dasar dasar
teologi Islam, fiqih, tafsir, hadits, bahasa Arab dan sebagainya. Bahkan pada
usia 13 tahun, Kiai Hasyim sudah dipercayai ayahnya untuk mengajar santri yang
usianya lebih senior di Pesantren Keras.
Dan tepat pada
tahun 1876, pada usia 15 tahun, Kiai Hasyim menuju pesantren pertamanya yaitu
di Pesantern Monorojo di daerah, Trowulan Mojokerto, Kemudian Kiai Hasyim
pindah ke Pesantren Wonokoyo di Probolinggo selama tiga tahun. Lalu meneruskan
pengembangan intelektual ke Pesantren Langitan Tuban. Kemudian pindah lagi ke
Pesantren Tenggilis Surabaya, yang kemudian menjadi perantara Kiai Hasyim untuk
meneruskan perjalanannnya ke Madura, tepatnya di Pesantren Kademangan
Bangkalan, yang di asuh oleh syaikhona Khalil bin Abdul latif. Dari Syaikhana Khalil, Kiai Hasyim
menimba ilmu tentang fiqih, sufisme, tata bahasa dan sastra Arab. Di kemudian
hari, Syaikhana
Khalil dalam pendirian NU, karena Kiai Hasyim meminta izin terlebih dahulu dari
tokoh ini sebelemu mendirikan NU. Setelah itu
beliau menimba ilmu di Pesantren Swalan Panji Buduran Sidoarjo, yang
ketika itu masih diasuh oleh Kiai Ya’qub. Lalu beliau melanjutkan untuk mencari
ilmu di Mekkah selama 7 tahun, selama disana beliau berguru dengan Syaikh
Mahfudz al-Tirmidzi, Syaikh Ahmad Khotib al-Minankabaui, Syaikh Namawi al-
Bantani dan Syaikh Ahmad Khotib.
Kiai Hasyim wafat pada hari Jum’at Pon tanggal 25 Juli 1947
M atau bertepatan pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H pada pagi hari menjelang
subuh. Beberapa saat sebelum wafat , Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak atau
hersenbloeding setelah mendengarka kabar terakhir dari Kiai Gufron
bersama dua orang opison bung tomo tentang kekalahan pasukan Sabillah dan
Hizbullah di Singosari Malang. Kota itu adalah pertahanan terakhir dari
kedua pasukan bentukan NU tersebut. Akibat seranga besar besaraan yang
dilakukan tentara Belanda dibawah pimpinan Jendral S.H. Spoor ini, banyak jatuh
korban dari pihak rakyat indonesia.[7]
IV.
Tentang Nahdlotul ‘Ulama
A. Aqidah
dan Asas
Nahdlatul
Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah islamiah beraqidah/berasas Islam menurut paham
Ahli Sunnah wal-Jamaah dan menganut salah satu dari empat mashab empat Hanafi
Maliki Syafii dan Hambali. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Nahdlatul
Ulama berpedoman kepada Ketuhanan Yang Maha Esa kemanusiaan yg adil dan berdab
persatuan Indonesia kerakyatan yg dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
B. Lambang
Lambang
Nahdlatul ‘Ulama berupa gambar bola dunia yg dilingkari tali tersimpul dikitari
oleh 9 bintang 5 bintang terletak melingkari di atas garis khatulistiwa yg
tersebar di antaranya terletak di tengah atas sedang 4 bintang lainnya terletak
melingkar di bawah khatulistiwa dgn tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yg
melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri; semua terlukis dgn
warna putih di atas dasar hijau.
C. Paham Keagamaan
NU menganut
paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem
naqli (skripturalis). Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi
juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir
semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang teologi atau Tauhid
atau ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih
cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi'i dan
mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Maliki,dan Imam Hanbali sebagaimana
yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara
tasawuf dengan syariat.[8]
V.
Peran Nahdlatul
‘Ulama Dalam kemerdekaan Indonesia
A. . Peran Nahdlatul Ulama Pada
Masa Penjajahan Belanda
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda
dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun
1936. Pada saat itu ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar
al-Salam, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa-bangsa.
Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai
dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang
terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas.
Pada pekembangan selanjutnya, tokoh-tokoh Nahdlatul
Ulama mulai terlibat secara aktif dalam dunia politik. Hal ini terlihat pada
saat tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama ikut memprakarsai lahirnya Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang kemudian dipimpin oleh KH. Abdul Wachid
Hasyim. Ide mendirikan MIAI tidak bisa lepas dari kerangka usaha pengembangan
Nahdlatul Ulama dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Sebab
baik dilihat dari sudut historis maupun semangat yang membentuk diri MIAI
menjadi besar, tidak pernah lepas dari peranan Nahdlatul Ulama.
MIAI pada dasarnya bergerak di bidang keagamaan, namun
dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik. MIAI berusaha
mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik, melalui pengajuan tuntutan kepada
penguasa, baik mengenai hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah
keagamaan maupun tidak, bahkan masalah internasional. Tuntutan tersebut antara
lain : Indonesia berparlemen, persoalan Palestina dan mencabut Guru Ordonantie
tahun 1925.
Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama
jelas, yaitu menerapkan politik non cooperation (tidak mau kerja sama) dengan
Belanda. Untuk menanamkan rasa benci kepada penjajah, para ulama mengharamkan
segala sesuatu yang berbau Belanda, sehingga semakin menumbuhkan rasa
kebangsaan dan anti penjajah.Hal ini terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak
mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (DPR masa Belanda). [9]
B. Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Pendudukan Jepang
Pada akhir
Oktober 1943 perjuangan diplomasi terus ditingkatkan melalui berdirinya wadah
perjuangan baru bagi umat Islam Indonesia yang bernama Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi). KH. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai pemimpin tertinggi dan KH. Abdul
Wahid Hasyim duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI yang
dibubarkan Jepang.
Melalui Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim meminta Jepang
melatih kemiliteran para santri di pesantren secara khusus dan terpisah. Pada
14 Oktober 1944 permintaan itu dikabulkan dengan dibentuknya Hizbullah dan
Sabilillah. Permintaan ini merupakan akal cerdik KH. Abdul Wahid Hasyim, sebab
pada akhirnya nanti, justru akan mengadili Jepang dengan pucuk senjata.
Sementara di
bidang politik, selain aktif dalam Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim juga duduk
sebagai pimpinan tertinggi Shumubu (Kantor Urusan Agama) menggantikan KH.
Hasyim Asy’ari. Shumubu pada awalnya dipimpin oleh Kolonel Horrie yang bertugas
mengawasi secara ketat organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap
pendidikan Islam.
Sikap menentang keras Nahdlatul Ulama terhadap Jepang
terlihat ketika ada perintah untuk melakukan seikere(ritual penghormatan kepada
Tenno Heika dengan posisi siap membungkukkan badan 90 derajat semacam ruku’
dalam shalat). Perintah ini diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa
kecuali, setiap pagi sebelum melakukan aktivitas. KH. Hasyim Asy’ari menyerukan
kepada seluruh umat Islam khususnya warga Nahdlatul Ulama untuk tidak melakukan
seikere karena hukumnya haram.[10]
C. Peran Nahdlatul
Ulama Dalam Membentuk Dasar Negara
Islam ikut menentukan wujud, asas dan hukum negara
yang akan lahir itu.
Untuk
mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 29 April
1945 dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang
diketuai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya juga di dalamnya KH.
Abdul Wahid Hasyim sebagai anggota.
Selanjutnya KH. Abdul Wahid Hasyim juga terlibat aktif
dalam perumusan konstitusi dan dasar negara bersama tokoh lain, yaitu :
Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abikoesno
Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, A.A. Maramis dan Abdul Kahar Muzakkir yang
disebut Panitia Sembilan. Mereka membubuhkan tanda tangannya pada Piagam
Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Piagam Jakarta sendiri merupakan kesepakatan awal
antara golongan Islam dengan golongan nasionalis dalam hal perumusan
Undang-Undang Dasar. Kesepakatan itu termaktub dalam suatu naskah yang akan
dijadikan sebagai preambul atau pembukaan Undang-Undang Dasar. Dalam naskah
pembukaan itulah disebutkan bahwa Pancasila menjadi dasar negara Indonesia.
Bagi Nahdlatul Ulama Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bentuk final
dari sistem kebangsaan dan akan terus dipertahankan kelestariannya, telah
menjadi salah satu bukti bahwa Nahdlatul Ulama memiliki semangat nasionalisme
yang tinggi.[11]
VI.
Kesimpulan
Nahdlatul ‘Ulama
(disingkat NU) yaitu organisasi massa Islam
terbesar di Indonesia.
Organisasi ini mulai berdiri tanggal 31 Januari 1926, aktif dalam bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Yang didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari. Nahdlatul
Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang eksistensinya
memainkan peran penting bagi kehidupan bangsa. NU sebagaisalah satu organisasi
Islam terbesar di Indonesia ikut bertanggung jawab untuk memberikan
kontribusi dalam membangun cita-cita bangsa. Hal tidak ini tidak lain
karena kontribusi NU tidak hanya dialamatkan kepada jama‟ah NU, tetapilebih
besar dari itu bagaimana NU bisa berkontribusi kepada bangsa. Seperti pada
zaman penjajahan dulu NU banyak peran adil dalam menyusung kemerdekaan
Indonesia, oleh karena itu NU
telah berhasil melahirkan generasi bangsa yang mengedepankan hidup dalam
suasana yang toleran dan moderat, bukan dengan kekerasan. Dalam kaitan dengan
suasana hidup yang toleran dan moderat ini, fondasi besar sudah diletakkan oleh
NU ketika memelopori penerimaan Pancasila sebagai asas bernegara dan
bermasyarakat yang mesti diterima oleh umat.
Daftar Pustaka
Mukani, Berguru ke Sang Kiai, Yogyakarta:Kalimedia,
2016.
_______ Khittah dan Khidmah kumpulan
tulisan Majma’ Buhuts An-Nahdiyah, Pati: Rudloh Al-Thohiriah, 2014 .
Hadziq, Muhammad Isham, “al-Ta’arif bil mu’alif “dalam Muhammad Hasyim
Asy’ari, Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamy,19995.
Zuhri, Achmad Muhibbin, pemikiran KH. M. Hasyim
Asy’ari tentang Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah, Surabya: Khalista,2010.
http://aswajanu86.blogspot.co.id/2015/09/peran-nahdlatul-ulama-dalam-perjuangan.
http://gretongerssh.blogspot.co.id/2014/03/materi-ke-nu-peran-nu-dalam-perjuangan.
http://wawasansejarah.com/peran-dan-perjuangan-nahdlatul-ulama-nu-masa-kemerdekaan. https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_'Ulama.
[2] Khittah dan Khidmah kumpulan
tulisan Majma’ Buhuts An-Nahdiyah,
(Pati: Rudloh Al-Thohiriah, 2014 ), 1.
[4] Achmad Muhibbin Zuhri, pemikiran
KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah, (Surabya:
Khalista,2010), 67.
[5] Muhammad Isham
Hadziq, “al-Ta’arif bil mu’alif
“dalam Muhammad Hasyim Asy’ari, (Jombang: Maktabah al-Turats
al-Islamy,19995) , 3.
[7] Ibid, 58-61 dan 87.
[11] http://wawasansejarah.com/peran-dan-perjuangan-nahdlatul-ulama-nu-masa-kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar