Selasa, 06 Maret 2018

NAHDLOTUL ‘ULAMA


NAHDLOTUL ‘ULAMA
Oleh: Rifqy Ferdian, Sibawaih Umam, dan Muafa Annis
     I.            Pendahuluan
Nahdlatul ‘Ulama atau NU merupakan organisasi masa Islam yang oleh banyak pengamat diindetikkan dengan kaum tradisional. Hal ini merupakan bias tersendiri, mengingat dalam perkembangannya antara kaum modernis dan tradisional sudah saling memberikan masukan demi kemajuan masyarakat muslim di Indonesia. Terutama dalam hal meminimalisasi perselisihan tentang masalah-masalah furu’iyyah (cabang, tidak yang menerima bentuk lembaga pendidikan  yang ditawarkan kaum modernis, sedangkan kaum modernis sendiri tidak begitu saja
mengharamkan thariqat yang dilakukan kaum tradisionalis. Kedua kaum ini, meskipun berselilisih dan berdebat dengan kerasnya, namun pada akhirya menunjukan akhir yang positif.[1]
Nahdlatul ‘Ulama sendiri sebagai sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan berkembang dan tumbuh dari konsep dan misi li utammima makarimal akhlak dan tafaqquh fiddiin. Kedua konsep inilah yang menjadi ruh pendidikan pesantren selama berabad-abad. Nahdlatul ‘Ulama menjahit jamaah psantren ini menjadi sebuah Jami’iyyah. Jika Nahdlotul ‘Ulama dan pesantren berbicara dalam kehidupan nyata saat ini, maka mau tidak mau NU dan pesantren harus mempunyai kemampuan mengkombinasikan sistem pengelolaan kemasyarakatannya. Dengan demikian pendidikan yang dilakukan untuk dan kepada masyarakat memiliki kemampuan memadupadankan antara yang slaf dan kholaf.
Ada perbedaan antara pesantren dan Nahdlatul ‘Ulama dengan lembaga lainnya, yaitu bahwa NU dan pesantren sangat menekankan aspek efektif dalam mendidik masyarakat, dengan demikian hal ini mampu mengembangkan pendidikan dan gera organisasi sebagai perangkat psiko-motorik. Jangan heran jika pra santri dan anggota-anggota NU di masa lalu mamou menempatka Islam ala ahlis sunnah wal jamaah sebagai pemandu aktivitas. Sementara organisasi non pesantren banyak menekaknkan pada aspek kognitif.[2] 

  II.            Sejarah Berdirinya Nahdlatul ‘Ulama
Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konperensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam murni, yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.[3]

III.            Biografi KH. M. Hasyim Asy’ari
Kiai Hasyim dilahirkan di Gedang. Ini adalah sebuah dusun kecil di utara Kota Jombang yang sekarang masuk dalam wilayah desa Tambakrejo, kecamatan kota Jombang, timur Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas. Kiai Hasyim lahir pada hari selasa kliwon tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M.[4]
 Kiai Hasyim lahir dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Nama lengkap Kiai Hasyim adalah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin ‘Abdul Wahid bin ‘Abdul Halim ( Pangeran Benowo ) bin ‘Abdurrahman ( Joko Tingkir atau Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya ) bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Aziz bin ‘Abdul fattah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yaqin yang lebih populer dengan sebutan Sunan Giri.[5]
 Kiai Hasyim merupakan putra ketiga dari sebelas bersaudara. Urut-urutan  keturanan dari Kiai Asy’ari adalah Nafi’ah, Ahmad Sholih, Muhammad Hasyim, Radhiyyah, Hasan, Anis, Fathonah, Maimunah, Ma’shum, memiliki saudara antara lain Muhammad, Leler, Fadhil dan Nyai Arif. Semasa masih hidup, Kiai Hasyim pernah menikah dengan empat perempuan. Namun, pernikahan baru dilakukan setelah istri sebelumnya meninggal dunia. Dengan kata lain, Kiai Hasyim tidak pernah memiliki dua istri atau lebih sekaligus dalam waktu yang bersamaan atau poligami. Saat menikah lagi, Kiai Hasyim sudah berstatus duda. Hal ini sekaligus membantah pendapat beberapa kalangan yang menyatakan bahwa Kiai Hasyim melakukan poligami.
Istri pertama Kiai Hassyim adalah Nyai Khodijah binti Kiai Ya’qub dari pesantern Siwalan Panji Buduran Sidoarjo. Pernikahan dengan istri pertama ini digelar pada tahun 1892 M atau 1308 H, saat Kiai Hasyim berumur 21 tahun. Dengan istri prtam Kiai Hasyim memiliki satu putra, Abdullah. Bayi Abdullah meninggal dunia saat masih berusia 40 hari. Ini terjadi karena Nyai Khodijah meninggal dunia saat melahirkan Abdullah.
Istri kedua Kiai Hasyim adalah Nyai Nafishah binti Kiai Romli dari Pesantren Kemuning Bandar Kecamatan Mojoroto Kota Kediri. Kiai Hasyim menikah dengan istri kedua saat sama sama masih berada di Mekkah. Setelah dua tahun menikah dan belum diberikan keturunan, Nyai Nafishah meninggal dunia.
Istri ketiga kiai Hasyim adalah Nyai Nafiqoh binti Kiai Muhammad Ilyas dari Pesantren Sewulan Dagangan Madiun. Dengan Nyai Nafiqoh, Kiai Hasyim memiliki sepuluh putra yaitu Hannah, Khoiriyah atau Ummu Abdul Jabbar, Aisyah atau Ummu Muhammad, Azzah atau Ummu Abdul Haq, Abdul Wahid, Abdul Hakim atau Kiai Kholiq, Abdul Karim, Ubaydillah, Masruroh dan Muhammad Yusuf atau Ud. Nyai Nafiqoh meninggal dunia padda tahun 1920 M dan jenazahnya dimakamkan di Pesantren Tebu Ireng.
Istri keempat Kiai Hassyim adalah Nyai Masruroh binti Kiai Hasan Muchyi dari Pesantren Salafiah Kapurrejo Pagu Kediri. Dengan Nyai Masruroh, Kiai Hasyim memiliki empat anak, yaitu Abdul Qodir, Fatimah, Khodijah, dan Muhammad Ya’qub dalam film Sang Kiai, Nyai Masruroh disebut dengan Nyai kappu. Jenazah Nyai Masruroh juga di makamkan di Pesantren tebu ireng.[6]
Dalam melaksanakan pencarian ilmu, Kiai Hasyim berusaha menerapkan filosofi jawa yaitu luru ilmu kanti lelaku dan santri kelana. Kedua filosofi itu menggambarkan bahwa mencari ilmu mengutamakan proses yang dijalani, bukan memfokuskan diri pada hasil yang diperoleh. Dan selama lima tahun berada dalam pendidikan dan lingkungan kakeknya di Pesantren Gedang, di lanjutkan dengan sepuluh tahun dalam pola pendidikan Ayahnya di Pesantren Keras. Saat masih dalam pendidikan kakek dan ayah, Kiai Hasyim banyak belajar tentang dasar dasar teologi Islam, fiqih, tafsir, hadits, bahasa Arab dan sebagainya. Bahkan pada usia 13 tahun, Kiai Hasyim sudah dipercayai ayahnya untuk mengajar santri yang usianya lebih senior di Pesantren Keras.
Dan tepat pada tahun 1876, pada usia 15 tahun, Kiai Hasyim menuju pesantren pertamanya yaitu di Pesantern Monorojo di daerah, Trowulan Mojokerto, Kemudian Kiai Hasyim pindah ke Pesantren Wonokoyo di Probolinggo selama tiga tahun. Lalu meneruskan pengembangan intelektual ke Pesantren Langitan Tuban. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Tenggilis Surabaya, yang kemudian menjadi perantara Kiai Hasyim untuk meneruskan perjalanannnya ke Madura, tepatnya di Pesantren Kademangan Bangkalan, yang di asuh oleh syaikhona Khalil bin Abdul latif.  Dari Syaikhana Khalil, Kiai Hasyim menimba ilmu tentang fiqih, sufisme, tata bahasa dan sastra Arab. Di kemudian hari, Syaikhana Khalil dalam pendirian NU, karena Kiai Hasyim meminta izin terlebih dahulu dari tokoh ini sebelemu mendirikan NU. Setelah itu  beliau menimba ilmu di Pesantren Swalan Panji Buduran Sidoarjo, yang ketika itu masih diasuh oleh Kiai Ya’qub. Lalu beliau melanjutkan untuk mencari ilmu di Mekkah selama 7 tahun, selama disana beliau berguru dengan Syaikh Mahfudz al-Tirmidzi, Syaikh Ahmad Khotib al-Minankabaui, Syaikh Namawi al- Bantani dan Syaikh Ahmad Khotib.
Kiai Hasyim wafat pada hari Jum’at Pon tanggal 25 Juli 1947 M atau bertepatan pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H pada pagi hari menjelang subuh. Beberapa saat sebelum wafat , Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak atau hersenbloeding setelah mendengarka kabar terakhir dari Kiai Gufron bersama dua orang opison bung tomo tentang kekalahan pasukan Sabillah dan Hizbullah di Singosari Malang. Kota itu adalah pertahanan terakhir dari kedua pasukan bentukan NU tersebut. Akibat seranga besar besaraan yang dilakukan tentara Belanda dibawah pimpinan Jendral S.H. Spoor ini, banyak jatuh korban dari pihak rakyat indonesia.[7]


IV.            asyim HHhgeiuteiieuwksueufhfffjjfjjfjfjfjfjjfTentang Nahdlotul ‘Ulama
A.    Aqidah dan Asas
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah islamiah beraqidah/berasas Islam menurut paham Ahli Sunnah wal-Jamaah dan menganut salah satu dari empat mashab empat Hanafi Maliki Syafii dan Hambali. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Ketuhanan Yang Maha Esa kemanusiaan yg adil dan berdab persatuan Indonesia kerakyatan yg dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
B.     Lambang
Lambang Nahdlatul ‘Ulama berupa gambar bola dunia yg dilingkari tali tersimpul dikitari oleh 9 bintang 5 bintang terletak melingkari di atas garis khatulistiwa yg tersebar di antaranya terletak di tengah atas sedang 4 bintang lainnya terletak melingkar di bawah khatulistiwa dgn tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yg melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri; semua terlukis dgn warna putih di atas dasar hijau.
C.     Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang teologi atau Tauhid atau ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Maliki,dan Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.[8]

  V.            Peran Nahdlatul ‘Ulama Dalam kemerdekaan Indonesia
A.    .  Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Penjajahan Belanda
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936. Pada saat itu ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al-Salam, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa-bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas.
Pada pekembangan selanjutnya, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama mulai terlibat secara aktif dalam dunia politik. Hal ini terlihat pada saat tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama ikut memprakarsai lahirnya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang kemudian dipimpin oleh KH. Abdul Wachid Hasyim. Ide mendirikan MIAI tidak bisa lepas dari kerangka usaha pengembangan Nahdlatul Ulama dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Sebab baik dilihat dari sudut historis maupun semangat yang membentuk diri MIAI menjadi besar, tidak pernah lepas dari peranan Nahdlatul Ulama.
MIAI pada dasarnya bergerak di bidang keagamaan, namun dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik. MIAI berusaha mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik, melalui pengajuan tuntutan kepada penguasa, baik mengenai hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah keagamaan maupun tidak, bahkan masalah internasional. Tuntutan tersebut antara lain : Indonesia berparlemen, persoalan Palestina dan mencabut Guru Ordonantie tahun 1925.
Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu menerapkan politik non cooperation (tidak mau kerja sama) dengan Belanda. Untuk menanamkan rasa benci kepada penjajah, para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda, sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajah.Hal ini terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (DPR masa Belanda). [9]

B.     Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Pendudukan Jepang
 Pada akhir Oktober 1943 perjuangan diplomasi terus ditingkatkan melalui berdirinya wadah perjuangan baru bagi umat Islam Indonesia yang bernama Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). KH. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai pemimpin tertinggi dan KH. Abdul Wahid Hasyim duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI yang dibubarkan Jepang.
Melalui Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim meminta Jepang melatih kemiliteran para santri di pesantren secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944 permintaan itu dikabulkan dengan dibentuknya Hizbullah dan Sabilillah. Permintaan ini merupakan akal cerdik KH. Abdul Wahid Hasyim, sebab pada akhirnya nanti, justru akan mengadili  Jepang dengan pucuk senjata.
Sementara di bidang politik, selain aktif dalam Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim juga duduk sebagai pimpinan tertinggi Shumubu (Kantor Urusan Agama) menggantikan KH. Hasyim Asy’ari. Shumubu pada awalnya dipimpin oleh Kolonel Horrie yang bertugas mengawasi secara ketat organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam.
Sikap menentang keras Nahdlatul Ulama terhadap Jepang terlihat ketika ada perintah untuk melakukan seikere(ritual penghormatan kepada Tenno Heika dengan posisi siap membungkukkan badan 90 derajat semacam ruku’ dalam shalat). Perintah ini diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, setiap pagi sebelum melakukan aktivitas. KH. Hasyim Asy’ari menyerukan kepada seluruh umat Islam khususnya warga Nahdlatul Ulama untuk tidak melakukan seikere karena hukumnya haram.[10]
C.     Peran Nahdlatul Ulama Dalam Membentuk Dasar Negara
Islam ikut menentukan wujud, asas dan hukum negara yang akan lahir itu.
Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang diketuai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya juga di dalamnya KH. Abdul Wahid Hasyim sebagai anggota.
Selanjutnya KH. Abdul Wahid Hasyim juga terlibat aktif dalam perumusan konstitusi dan  dasar negara bersama tokoh lain, yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, A.A. Maramis dan Abdul Kahar Muzakkir yang disebut Panitia Sembilan. Mereka membubuhkan tanda tangannya pada Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Piagam Jakarta sendiri merupakan kesepakatan awal antara golongan Islam dengan golongan nasionalis dalam hal perumusan Undang-Undang Dasar. Kesepakatan itu termaktub dalam suatu naskah yang akan dijadikan sebagai preambul atau pembukaan Undang-Undang Dasar. Dalam naskah pembukaan itulah disebutkan bahwa Pancasila menjadi dasar negara Indonesia.
Bagi Nahdlatul Ulama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan dan akan terus dipertahankan kelestariannya, telah menjadi salah satu bukti bahwa Nahdlatul Ulama memiliki semangat nasionalisme yang tinggi.[11]

VI.            Kesimpulan

Nahdlatul ‘Ulama (disingkat NU) yaitu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Organisasi ini mulai berdiri tanggal 31 Januari 1926, aktif dalam bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Yang didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang eksistensinya memainkan peran penting bagi kehidupan bangsa. NU sebagaisalah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ikut bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi dalam membangun cita-cita bangsa. Hal tidak ini tidak lain karena kontribusi NU tidak hanya dialamatkan kepada jama‟ah NU, tetapilebih besar dari itu bagaimana NU bisa berkontribusi kepada bangsa. Seperti pada zaman penjajahan dulu NU banyak peran adil dalam menyusung kemerdekaan Indonesia, oleh karena itu NU telah berhasil melahirkan generasi bangsa yang mengedepankan hidup dalam suasana yang toleran dan moderat, bukan dengan kekerasan. Dalam kaitan dengan suasana hidup yang toleran dan moderat ini, fondasi besar sudah diletakkan oleh NU ketika memelopori penerimaan Pancasila sebagai asas bernegara dan bermasyarakat yang mesti diterima oleh umat.

Daftar  Pustaka
Mukani, Berguru ke Sang Kiai, Yogyakarta:Kalimedia, 2016.

_______ Khittah dan Khidmah kumpulan tulisan  Majma’ Buhuts An-Nahdiyah, Pati: Rudloh Al-Thohiriah, 2014 .

Hadziq,  Muhammad Isham, “al-Ta’arif  bil mu’alif “dalam Muhammad  Hasyim  Asy’ari, Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamy,19995.

Zuhri,  Achmad Muhibbin, pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah, Surabya: Khalista,2010.

http://aswajanu86.blogspot.co.id/2015/09/peran-nahdlatul-ulama-dalam-perjuangan.
http://gretongerssh.blogspot.co.id/2014/03/materi-ke-nu-peran-nu-dalam-perjuangan.
http://wawasansejarah.com/peran-dan-perjuangan-nahdlatul-ulama-nu-masa-kemerdekaan.  https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_'Ulama.


[1] Mukani, Berguru ke Sang Kiai, (Yogyakarta:Kalimedia, 2016), 79.
[2]  Khittah dan Khidmah kumpulan tulisan  Majma’ Buhuts An-Nahdiyah, (Pati: Rudloh Al-Thohiriah, 2014 ), 1.
[3]  https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_'Ulama.
[4]  Achmad Muhibbin Zuhri, pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah, (Surabya: Khalista,2010), 67.
[5]  Muhammad Isham Hadziq, “al-Ta’arif  bil mu’alif “dalam Muhammad  Hasyim  Asy’ari, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamy,19995) , 3.
[6] Mukani, Berguru ke Sang Kiai, (Yogyakarta:Kalimedia,2016), 50-51.
[7]  Ibid,  58-61 dan 87.
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_'Ulama.
[9] http://gretongerssh.blogspot.co.id/2014/03/materi-ke-nu-peran-nu-dalam-perjuangan.
[10] http://aswajanu86.blogspot.co.id/2015/09/peran-nahdlatul-ulama-dalam-perjuangan.
[11] http://wawasansejarah.com/peran-dan-perjuangan-nahdlatul-ulama-nu-masa-kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar